Hosting Unlimited Indonesia
WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA


Posted By: Admin
1)  Pendidikan Karakter Bangsa
Apa yang kira-kira terlintas dalam benak ketika kita menyebutkan nama-nama seperti Hayam Wuruk, Sanjaya, Purnawarman, Mulawarman, Sultan Hasanuddin, Patiunus, Pattimura, atau sederet nama lain yang telah mengukirkan nama dalam sejarah bangsanya? Apa yang kemudian menjadikan pendahulu-pendahulu kita tercatat dalam ingatan dan sejarah? Lantas, apa yang akan ditulis oleh orang-orang jauh di masa depan tentang kita?

Sejarah tidak akan menulis sebuah peristiwa biasa-biasa saja, ia tidak akan merekam seorang tokoh yang biasa-biasa saja. Sejarah akan menulis peristiwa dan merekam tokoh yang luar biasa, yang mengubah wajah peradaban sekelompok masyarakat atau dunia. Bagaimana pun kiprah seorang Tan Malaka berusaha dilupakan, sejarah akan tetap menjemput dan mencatatnya, sedalam apa pun Perang Paregreg mencoba dikubur, sejarah akan tetap mengangkatnya ke permukaan.

Sesungguhnya, manusia-manusia macam apakah mereka itu? Sehingga mereka begitu dicintai oleh sejarah? Apakah mereka adalah orang-orang yang diberi kecerdasan berlebih? Kekuatan yang mumpuni? Atau sekadar orang yang tepat di saat yang tepat? Mungkin saja! Namun satu hal yang pasti, melalui sejarah pula kita akan menemukan bahwa mereka memiliki bahan utama yang menjadi dasar seorang manusia sejati—dalam bahasa popular, saat ini apa yang mereka miliki: Karakter.

Karakter adalah kumpulan kualitas terbaik yang mungkin dimiliki seorang manusia seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan dan kesederhanaan, karakter juga mencakup integritas, moral yang baik dan terhormat diramu dengan tepat bersama kecerdasan dan kepandaian. Berdiri di baris depan dalam sebuah pertempuran tidak selalu berarti berani, dalam kesempatan lain hal tersebut justru membahayakan diri sendiri dan orang lain, begitu pun dengan  membagi rata sesuatu hanya berdasarkan jumlah tidak selalu dapat disebut sebagai adil.

Membangun karakter tidak sulit sekaligus juga tidak mudah. Tidak sulit karena bangsa ini memiliki banyak kearifan lokal sebagai materi; sementara tidak mudah, karena hal tersebut harus disampaikan dan dilatih sedini mungkin. Sedari dini berarti dimulai sejak sang anak mulai mengenal kata dan mengidentifikasi objek, mencoba memahami perilaku, dan bertanya tentang segala sesuatu. Mengapa? Karena usia dini merupakan masa seorang individu memiliki kemampuan merekam yang sangat luar biasa dan segala memori yang terpatri pada masa ini akan menjadi pondasi karakter individu tersebut di masa depan. Apabila kita cermati materi dan metode pendidikan di Indonesia akan sangat terasa sekali kurangnya muatan-muatan pendidikan yang dapat menghasilkan seorang manusia yang berkarakter, dan materi pendidikan yang memiliki muatan pendidikan karakter salah-satunya adalah pendidikan Sejarah dan Budaya Bangsa – tolong dipahami, belajar sejarah bukan hanya mengingat tahun, tokoh dan peristiwa, dan belajar Budaya Bangsa tidak selalu mengidentifikasi sebuah seni tradisi berasal dari suku dan daerah mana.

Di sisi lain, forum diskusi, latihan merangkai konsep dalam sebuah uraian yang terstruktur kemudian mempresentasikannya, dan berorganisasi pun saat ini di semua tingkat pendidikan sudah sangat kurang, terutama di tingkat perguruan tinggi. Bahkan di tingkat ini, berorganisasi justru dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik praktis, ironis. Saat ini pendidikan di Indonesia mencoba “Sinergis” dengan pasar, apa yang sedang dan akan ramai, itu yang akan ditingkatkan. Namun pada akhirnya pendidikan yang dibangun dengan konsep ini berkecenderungan menghasilkan manusia-manusia kelas kacung. Dengan materi dan metode pendidikan yang baik, para pengajar yang ahli dan mumpuni, serta sedikit keberuntungan, sisi bidang keahlian mungkin mampu bersaing secara global, namun tetap saja, hanya mampu bersaing di kelas kacung!

Kami kadang berimajinasi, alangkah “hidup” suasana pendidikan di negeri ini apabila celoteh-celoteh mahasiswa tidak hanya bertanya atau membahas hukum Newton, kalkulus atau hukum probabilitas, tetapi juga berbincang tentang filosofi kebenaran, nilai, kejujuran, keadilan, dan prima causa, dan di sana akan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang berkarakter. Sungguh!

Mari rekan-rekan, kita merenung sejenak dan berimajinasi, apa yang akan terjadi dengan sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan kaya akan sumber daya manusia yang berkarakter!
Yakusa!!!

2) Pendidikan Kita Anti Realitas

Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri. Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam dunia pendidikan kita. 

Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan.
Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.

Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.

Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “Korban Penindasan”. Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dan pembebasan  dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.
Jika sudah begitu apa jadinya negeri ini...!!!!

3) Pendidikan Sebagai Program Pembebasan

Pendidikan pembebasan, secara konseptual sering di kaitkan dengan upaya-upaya atau program-program pendidikan berbasis rakyat yang dikaitkan dengan program pendidikan sebagaimana dicanangkan oleh Paulo Freire dan Ivan Illich di Amerika Latin. Dr. Paulo Freire adalah seorang cendekiawan Katolik di Brazilia, yang membuat konsepsi bahwa pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah pendidikan yang menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan sosial, bahkan mampu mengarahkan dan mengendalikan perubahan itu.
Pendidikan yang berguna adalah pendidikan yang menyadarkan sikap kritis terhadap dunia dan kemudian mengarahkan perubahannya. Dalam menghadapi dunia, pendidikan diarahkan tidak hanya pada kemampuan retorika yang bersifat verbal, akan tetapi juga mengarah kepada pendidikan kelakuan yang bertumpu pada kemampuan profesional. Untuk memiliki kemampuan itu tentunya harus dirangsang sikap kritis terhadap kenyataan-kenyataan di sekelilingnya dan berbekal dengan sikap kritis itu -melalui debat dan diskusi- akan ditemukan berbagai yang dialaminya sendiri dan masyarakatnya. Dari self empowerment ke social empowerment.

Menurutnya, kurikulum pendidikan di Brazilia lebih didominasi oleh pola pendidikan tradisional yang mengedepankan uraian verbal dan hafalan ketimbang kemampuan praktik yang merangsang profesionalisme. Akibatnya, dunia pendidikan lebih banyak menghsilkan retorika atau ungkapan-ungkapan verbal daripada mencermati kenyataan-kenyataan sosial dan kemudian mengubahnya melalui kemampuan yang dimilikinya.

Senada dengan ini adalah konsep Ivan Illich mengenai deschooling society. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi atas model pendidikan kapitalistik yang lebih mengedepankan kekayaan wawasan atau pengetahuan dengan lebih sedikit menyentuh dimensi ketrampilan atau kemampuan praktis. Baginya, pendidikan yang lebih mengedepankan wawasan atau pengetahuan alih-alih perilaku atau ketrampilan hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang menjadi obyek perubahan sosial daripada subyek perubahan sosial.

Pendidikan seharusnya menjadi instrumen bagi self empowerment, yang bertujuan membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan pengibirian manusia atas manusia lainnya. manusia yang memiliki kebebasan ditandai dengan adanya kemampuan dirinya untuk memaksimalkan potensi dirinya dalam kehidupan yang dijalaninya. Sebagai seorang pakar dibidang pengembangan masyarakat, Ivan Illich melihat bahwa out come pendidikan adalah generasi yang memiliki sikap tergantung dan bukan mandiri. Ketergantungan itu salah satunya disaranai oleh pendidikan model kapitalistik, yang baginya sangat merugikan bagi proses pemberdayaan diri dan masyarakat.

Jika kemudian kita mengadopsi pola pendidikan berbasis rakyat, sebagaimana diungkapkan oleh tokoh-tokoh pendidikan di Amerika Latin, hakikatnya bukan karena kita latah, akan tetapi senyatanya bahwa model-model pendidikan yang digunakan di Indonesia juga ditandai dengan pengkayaan dimensi pengetahuan ketimbang pendidikan perilaku yang mengarah kepada penguasaan suatu bidang yang dapat menjadi penguat dalam memasuki dunia pekerjaan.

Problemnya adalah program pendidikan di Indonesia memang belum memiliki relevansi yang sangat kuat dengan program pendidikan sebagaimana didesain oleh para praktisi pendidikan pembebasan. Dalam banyak hal, pendidikan Indonesia masih didesain sebagai model pendidikan yang lebih menekankan pada dimensi pengetahuan atau knowledge. Akan tetapi yang masih tampak mengedepan adalah penerapan pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan teoretik atau konseptual. Sehingga dimensi praksis agar pendidikan dapat menjadikan out putnya memiliki seperangkat keterampilan praksis masih jauh dari harapan.

Memang akhir-akhir ini sudah dirasakan adanya fenomena untuk mengangkat out put pendidikan ke arah pemilikan pengatahuan praksis. Di antaranya adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh Ciputra Group. Sayangnya bahwa lembaga ini nampak sangat elitis,
sehingga yang bisa belajar ke arah itu hanyalah sekelompok elit yang memang memiliki kemampuan secara finansial. Seharusnya, model pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah enterprenership yang dikembangkan oleh Ciputra ini justru diadaptasi oleh pemerintah atau lembaga lain yang selama ini memiliki konseren dalam program pembelajaran berbasis pada pembebasan. Melalui adopsi model tersebut, kiranya akan didapatkan suatu perubahan tentang praksis pendidikan yang lebih mengarah pada kemampuan teknis ketimbang teoretis.
Hanya melalui program pendidikan yang berbasis pembekalan pengetahuan praksis saja maka pendidikan akan dapat menjadi salah satu model yang lebih tepat untuk mengembangkan modal manusia atau human capital.
4) Wajah Buruk Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting untuk perkembangan suatu negara. Dengan pendidikan diharapkan agar bisa menyiapkan sumber daya manusia yang nantinya akan meneruskan dan memajukan suatu negara. Kita tahu Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun semua itu akan sia-sia apabila sumber daya manusia yang dimiliki tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang sudah ada itu. Pembentukan atau penciptaan sumber daya manusia yang bermutu tergantung pada sistem dan penerapan pendidikan. Di Indonesia masih banyak masalah masalah mengenai pendidikan ini yang sampai sekarang masih belum bisa diselesaikan, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia menjadi masalah utama yang harus cepat diatasi. Berikut masalah pendidikan yang ada di Indonesia berserta solusinya.
Rendahnya sarana dan pra sarana pendidikan di Indonesia. Sekarang ini masih banyak sekali kasus sekolah-sekolah yang tidak layak pakai, atap sekolah yang mau roboh, dinding sekolah yang sudah retak dan hal ini sangat ironis bila melihat anggaran pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini (20% dari APBN). Permasalahan yang lebih ringan lainya adalah ketersediaan alat-alat dan sarana yang mendukung pendidikan seperti perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah dan ruang kelas yang cukup. Masalah-masalah seperti ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah pedesaan dan terpencil saja, namun juga ada di kota besar. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan megahnya gedung DPR, gedung Walikota atau gedung pemerintahan lainyaa. Sehingga hal tersebut menjadi bukti kurangnya perhatian pemerintah pada pemerataan pendidikan di indonesia.

Mahalnya biaya pendidikan ini adalah masalah utama di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang bermutu itu mahal, mungkin seperti itulah yang terjadi sekarang ini, biaya pendidikan dari TK sampai dengan jenjang perkuliahan dirasakan masih mahal. Banyak anak sekolah yang putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan yang harus mereka bayar untuk bisa mengenyam di dunia pendidikan. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Padahal anggaran pendidikan dari pemerintah terbilang banyak, namun masih belum bisa menyelesaikan masalah ini. Bahkan progam BOS dari pemerintah masih belum bisa berjalan dengan baik. Dan masih ada juga sekolah yang memungut biaya pendidikan kepada para siswa. Sehingga hal tersebut menimbulkan protes bagi orang tua siswa, mereka berfikir karena udah ada BOS masih dipungut uang pembayaran.

Saat ini tidak semua daerah di Indonesia memiliki gedung sekolah, pengajar dan sarana pendidikan yang sama, sama disini maksudnya adalah dari segi kualitas dan kuantitasnya. Bagi sebagian orang pendidikan merupakan hal yang biasa, namun berbeda dengan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia, pendididkan merupakan kebutuhan yang mewah dan sangat berharga. Hal ini dikarenakan, untuk mencukupi atau bisa mengenyam pendidikan di perlukan biaya yang mahal karena di daerah tersebut sekolah masih sedikit atau jarang. Hal ini karena sistem yang ada di Indonesia memfokuskan pendidikan di wilayah-wilayah yang potensial saja yang kemudian mengakibatkan kesenjangan di dalam pendidikan itu sendiri.

Masih rendahnya kesejahteraan guru juga menjadi permasalahan, karena salah satu bagian penting yang berperan dalam kemajuan pendidikan adalah guru. Kesejahteraan guru berdampak pada mutu pengajaran yang ada. Sekarang ini masih banyak guru yang dibayar dengan upah yang kurang layak, meskipun banyak anggapan profesi guru merupakan profesi yang enak. Karena adanya sertifikasi yang diberikan pada para guru sekarang ini, namun masih banyak juga guru di Indonesia yang masih menerima gaji yang tidak sesuai, apalagi guru honorer dan guru bantu. Hal ini mengakibatkan para guru tersebut menjalani profesi sampingan seperti memberi les pada sore hari, mengajar di sekolah lain, pedagang buku/LKS dan sebagainya.

Rendahnya prestasi siswa sangat menentukan kemajuan dan mutu pendidikan di Indonesia. Namun yang sangat disayangkan terjadi sekarang ini adalah rendahnya prestasi yang diraih pelajar Indonesia. Masih kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan adalah faktor utama, juga semangat belajar yang kurang, budaya mencontek merupakan penyebab kurangnya daya kreatifitas yang dimiliki anak.Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut diantaranya rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana dan prasarana, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek. Dalam artian yang hanya mengikuti berjalannya zaman yaitu tidak bisa memilih mana yang baik dan yang buruk. Padahal sebagai manusia Indonesia yang memiliki budaya bisa kritis terhadap zaman ada. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.

5) “Sakitnya” Pendidikan Kita

Pendidikan macam apa yang kau ajarkan kepada anak anak saya, sampai mereka tidak mengenal Moral dan kelakuan mereka tidak mencerminkan bahwa mereka adalah generasi yang dididik (Kata Orang Tua) kita dulu...!!!

Hari ini saya benar-benar kaget, terperanjat, sekaligus takjub. Saya membaca beberapa berita yang isinya benar-benar mengguncang hati: “Seorang yang bertindak jujur melaporkan adanya contekan massal di sekolah anaknya, malah diancam diusir oleh warga desa yang memiliki anak di sekolah itu. Para orangtua murid itu marah karena kuatir akibat pencontekan itu maka anak-anak mereka tidak diluluskan.” (silakan browsing berita itu, kejadiannya di Surabaya beberapa waktu lalu dan sempat menjadi berita hangat di suratkabar dan TV).

Sulit untuk mengelak dari pernyataan bahwa “Pendidikan” kita memang tengah sakit, kalau bukan sekarat. Hari-hari ini kita rupanya tengah menuai buah dari apa yang kita lakukan untuk pendidikan selama beberapa puluh tahun terakhir. Apa yang ditakutkan oleh ahli antropologi kita, Koentjaraningrat, sejak awal 70-an tentang mental “menerabas”, tidak pernah kita antisipasi apalagi kita siasati. Jadilah maka, pendidikan yang mengabaikan ‘proses’ dan hanya mengutamakan ‘hasil. Alhasil, kejujuran tidak pernah menjadi bagian dari pendidikan kita. Contek mencontek telah menjadi bagian lazim dari pendidikan kita di semua level. Tak saya pungkiri, saya pun termasuk generasi yang sering mengalami ‘contek-contekan’ itu. Bahkan pernah juga suatu kali contekan diumumkan massal di depan kelas oleh guru. Sampai-sampai, seorang kawan pernah mengatakan: “ngapain belajar susah-susah, nanti juga pasti diberi contekan.”

Hari ini membaca berita ‘contekan massal di Surabaya” itu, saya kembali teringat kata-kata seorang kawan kuliah saya dulu (dan belum juga lulus kini). Dia bilang tidak akan menyekolahkan anak-anaknya kelak di sekolah negeri. Bukan karena sekolah negeri kualitas pengajarannya tidak bagus. Justru sekolah negeri seringkali jauh lebih bagus. Yang dia takutkan adalah rendahnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Dia ceritakan tentang bagaimana ketidakjujuran telah menjadi bagian integral di sekolah-sekolah. Dia ungkapkan keprihatinannya tentang bagaimana ‘fairness” tidak menjadi bagian penting dalam pendidikan.

Pendidikan yang tidak jujur telah menuai hasilnya. Dulu kebanyakan orang masih malu-malu mengakui bahwa “contekan” telah dilakukan. Kini kita terbuka membelanya. Mereka yang melaporkan pencontekan justru kita jadikan pesakitan. Kita cerca mereka secara terbuka sebagai sok suci, yang hanya merugikan semua orang. Dan gejala ini, rupa-rupanya gejala bangsa kita di hari-hari belakangan ini dalam semua hal.

Saya teringat dengan kisah raja Lear yang masyhur itu. Alkisah, semua rakyat di kerajaannya meminum air dari satu sumur yang sama. Pada suatu ketika, entah bagaimana asal muasalnya, sumur itu tercemar. Siapa yang meminumnya menjadi gila. Cara berpikirnya terbalik-balik. Oleh karena seluruh rakyat di kerajaannya hanya memiliki satu sumur itu sebagai sumber air, maka tak lama kemudian semua rakyatnya pun menjadi gila. Akan tetapi, bagi rakyat, raja-lah yang gila karena tidak berpikir seperti mereka. Rakyat mulai mencipta huru-hara dan protes karena sang raja berpikir kurang waras, yakni selalu bertentangan dengan cara pikir semua rakyatnya. Melihat gejala itu, rajanya pun akhirnya mengambil keputusan untuk meminum air sumur tercemar, dan maka sang raja seperti rakyatnya. Maka rakyatnya pun bersorak sorai karena raja telah menjadi seperti mereka. Jadilah semuanya normal, tidak ada lagi yang waras dan yang gila. Jangan-jangan, kita ini sedang seperti dongeng kuno itu.. jangan-jangan…. sebab kita semua minum dari sumber air yang sama: ‘pendidikan yang sakit’ !, lalu bagaimana pendidikan yang seharusnya???

6) Pendidikan Yang Ideal Bagi Bangsa Indonesia

Di era teknologi seperti ini, pendidikan memang sangat diperlukan bagi setiap orang. Pendidikan saat ini kerap menjadi tolak ukur bagi kecerdasan dan kesuksesan seseorang. Pendapat bahwa orang yang selalu memiliki IPK hampir empat, lulus kuliah dengan predikat cumlaude dan yang mempunyai gelar tinggi hingga doktor bahkan profesor, dipercayai oleh sebagian besar orang akan menjadi orang yang sukses kelak dan berpenghasilan besar tentunya. Padahal pada kenyataannya tidak semuanya seperti itu. Banyak orang yang sukses diusia produktifnya padahal ketika masa sekolah ia termasuk anak yang bisa dibilang tidak pintar bahkan mungkin termasuk peringkat sepuluh terburuk satu sekolahnya. Mereka dapat menjadi lebih sukses karena dari kecerdasannya dalam berpikir kritis dan futuristik, sehingga mereka pandai untuk berbisnis dan mengelola uang mereka. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor yang disebut keberuntungan.

Pendidikan adalah proses pembelajaran, proses dimana kita akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang sesuatu hal  baru yang sebelumnya tidak kita ketahui, Proses dimana kita dilatih dan dibimbing untuk menjadi pribadi yang lebih berilmu dan berakal sehat juga rasional. Dengan mendapat pendidikan yang layak bagi seusianya, diharapkan anak akan dapat menjadi pribadi yang berperilaku yang baik, cepat tanggap, mudah bergaul dan tentunya bertambah pengetahuannya, baik yang umum maupun yang khusus seperti berhitung dan berbahasa. Materi yang diberikan dalam proses pembelajaran ada bermacam-macam seperti  dalam hal berhitung, berbahasa, berperilaku, beragama, berekspresi, seni, berakhlak dan berperilaku. Proses pembelajaran ini tidak hanya dimulai ketika kita taman kanak-kanak, tapi dimulai ketika kita masih didalam perut ibu. Saat kita masih didalam kandungan, ibu sudah mengajarkan kita tentang kasih sayang, kasih sayang dari seorang ibu yang selalu menjaga anak dalam kandungannya agar kelak lahir dengan sehat dan selamat.

Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap manusia. Pendidikan adalah salah satu cara manusia agar dapat melanjutkan kehidupan. Dengan pendidikan, ilmu yang kita miliki akan semakin bertambah, wawasan yang kita miliki akan semakin luas, sehingga kita dapat berpikir secara lebih futuristik dan rasional. Dengan ilmu seseorang dapat berbuat banyak, dengan ilmu juga kita dapat beramal karena dapat berguna untuk orang lain. Sebagai contoh, jika kita memiliki ilmu yang lebih dari teman kita, saat ada yang mengalami kesulitan dalm pelajaran disekolah, dan kita dapat membantunya kita akan mendapat pahala karena kita dapat menolong teman yang kesulitan.

Contoh lainnya, jika suatu saat kita berhenti atau sedang tidak bekerja, jika kita memiliki ilmu khusus yang lebih, kita dapat mencari kerja sampingan sementara yaitu sebagai pengajar les atau bimbingan belajar bagi anak yang memerlukannya. Banyak hal yang dapat kita lakukan dan kita dapatkan, jika kita menjadi orang yang berilmu. Agar pendidikan yang diterima oleh peserta didik secara maksimal, haruslah dibuat sistem pendidikan yang ideal. Yang dimaksud ideal adalah yang memenuhi beberapa kriteria seperti pendidikan yang sesuai umur, sesuai kapasitas kemampuan peserta didik dalam menerima, dan pendidikan yang diberikan secara bertingkat dan bertahap. Pendidikan sesuai umur maksudnya adalah proses belajar dimana materi yang diberikan kepada peserta didik sesuai dengan umurnya. Misalnya anak SMP tidak cocok lagi jika diajarkan penjumlahan bilangan puluhan bahkan satuan, karena seharusnya mereka sudah paham karena sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak. Sebaliknya anak SD juga tidak cocok jika diajarkan pelajaran Biologi, yang membahas tentang proses reproduksi pada manusia. Karena mereka dianggap belum mengerti tentang masalah itu, dan berbahaya jika disalahgunakan. Hal ini juga berhubungan dengan kriteria kedua yaitu sesuai dengan kapasitas kemampuan sang peserta didik untuk menerima pelajaran tersebut. 

Jika pendidikan yang diberikan melebihi dari kemampuan menerima dikhawatirkan peserta didik akan stress, sebaliknya jika terlalu mudah akan membuat mereka menjadi bosan. Oleh karena itu harus tepat. Kriteria tepat ketiga adalah proses pembelajaran seharusnya diberikan secara bertahap dan semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh adalah siswa-siswi taman kanak-kanak mulai diajarkan matematika yaitu mengenal bilangan satuan dan melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan satuan. Ketika di SD kelas 1, pelajaran yang mereka terima mulai naik tahapannya menjadi penjumlahan bilangan puluhan, lalu ratusan, ribuan dan seterusnya. Meningkat lagi ke perkalian dan pembagian. Namun saat SMP, matematika yang dipelajari tidak lagi sederhana yaitu mulai konsep al-jabar, phytagoras dan lain-lain. Sehingga peserta didik dapat menerimanya dengan baik karena dimulai dari tahap yang mudah hingga yang paling sulit. 

Belajar tidak hanya disekolah, kita belajar dan mendapat pendidikan dimana saja. Ada pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan wajib yang terstruktur dan terorganisir, seperti sekolah. Di Indonesia pemerintah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun untuk warganya, hal ini berguna untuk menymaratakan pendidikan masyarakat Indonesia agar tidak menjadi bangsa yang terbelakang pendidikannya. Selain formal, ada juga pendidikan informal, seperti les-les tambahan diluar jam sekolah, les musik, lukis, teater, olahraga dan kesenian lainnya. Pendidikan ini bersifat tidak wajib, hanya sebagai tambahan saja, biasanya untuk mengasah kemampuan yang berhubungan dengan hobi. Selain les-les tambahan kegiatan berorganisasi juga merupakan pendidikan yang bersifat informal, kita belajar bagaimana cara menghargai orang lain, berkomunikasi didepan umum dan lainnya. Keluarga juga berperan penting dalam pendidikan informal ini, karena dirumahpun kita juga tetap belajar, belajar menghomati orang lain, mengalah dan saling menyayangi antar anggota keluarga. Jadi pendidikan itu sebenarnya bersifat luas, dapat diperoleh dimana saja.



Pemerintah Indonesia bercita-cita untuk menjadikan pendidikan di Indonesia ini mudah dijangkau oleh masyarakat. Karena mereka menilai pendidikan itu sangat penting, terutama di era globalisasi ini, dimana teknologi semakin canggih dan semakin mudah untuk melakukan apapun. Menurut pendapat saya hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah cukup baik dan cukup mendukung dengan memberlakukan ’program wajib belajar 9 tahun’ dan ’program sekolah gratis’ bagi setiap warganya maupun program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Hal ini dinilai berguna untuk menyamaratakan kemampuan seluruh masyarakatnya, agar Indonesia menjadi negara yang maju, tidak hanya berkembang dan jangan sampai mengalami kemunduran. Juga agar Negara Indonesia tidak mengalami ketertinggalan dari bangsa-bangsa lainnya.

Indonesia adalah negara yang tingkat kepadatan penduduknya mendapat peringkat sepuluh besar didunia ini. Masalah pendidikan di negara ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara garis besar dikatakan bahwa setiap penduduk mendapat hak pengajaran yang layak. Dari kenyataan ini, seharusnya dapat mendukung Indonesia menjadi negara yang maju yang dapat menciptakan alat-alat baru dengan inovasi teknologi yang canggih. Namun realitanya, hanya sebagian kecil saja yang dapat melakukan inovasi tersebut. Dimana sebagian kecil tersebut belum memiliki pengaruh yang besar yang dapat mengharumkan nama bangsa. Hal ini mungkin saja menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia ini belum maksimal sehingga belum menghasilkan banyak bibit unggul yang dapat mengharumkan nama bangsa ini. Mungkiiinn...!!!!!

Masihkah Bangga Menjadi Mahasiswa?

Dari tahun ke tahun nampak begitu banyaknya peserta didik atau calon mahasiswa yang mengikuti SNMPTN. Ini mengindikasikan bahwa banyak sekali adik-adik kita ataupun mungkin sahabat generasi muda kita yang kepingin menjadi seorang mahasiswa. Nampaknya selama ini sebutan “mahasiswa” menjadi impian dan obsesi sebagian besar masyarakat yang notabene adalah kawula muda. Right?
Mereka berjuang keras rela antri demi selembar formulir pendaftaran, datang dari luar kota, hingga bahkan rela menggadaikan harta benda sebagai biayanya. Demi menjadi seorang mahasiswa! *ucapkan dengan keras dalam hati. Hehehe… Nah lalu kalau sudah menjadi mahasiswa bagaimana kesan yang tertinggal serta kelanjutannya? Sebagian kecil mahasiswa ada yang mengatakan “ah ternyata jadi mahasiswa itu biasa-biasa saja, membosankan, monoton, tidak ada yang istimewa”. Ini pendapat mahasiswa yang memang biasa-biasa saja dalam menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa; mungkin kesehariannya antara kampus, perpus, terus kos-kosan. Belajar-makan-tidur, demikian yang membuatnya merasa biasa-biasa saja.

Lain halnya dengan pendapat mahasiswa tipe aktivis sejati. Mereka akan mengatakan bahwa jadi mahasiswa itu luar biasa, membanggakan, dan istimewa karena masih banyak kawan-kawan di luar sana yang tidak seberuntung kita bisa menikmati bangku kuliah. Tipe mahasiswa aktivis akan memiliki segudang kesibukan, sederet prestasi, networking yang luas serta pengalaman yang begitu banyak. Inilah yang membuat seorang mahasiswa tipe aktivis menjadi mahasiswa yang istimewa, luar biasa dan penuh warna. Ia berprestasi secara akademik, namun juga aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi intra dan ekstra kampus.
Ada pula tipe mahasiswa yang gaul abiz. Ia akan beranggapan bahwa menjadi mahasiswa itu mesti tampil beda, keren dan trendy. Pokoknya jadi mahasiswa itu mesti gaul, sering nongkrong di mall, dugem malam hari, punya banyak pacar, dan sederet tipikal kegaulan lainnya. Apa hasil yang didapat dari mahasiswa tipe ini? Ya pastinya kesenangan hidup, kepuasan batin, gemerlap kemewahan dan tentunya pemborosan. Right?

Ada lagi tipe mahasiswa yang setengah preman. Loh kok bisa? Lha rutinitasnya cuma numpang di kos-kosan demi bisa mabuk-mabukkan, mengkonsumsi narkoba, atau melakukan pergaulan bebas. Bagi mereka jadi mahasiswa itu mungkin ya sosok yang keras, suka anarkisme, pembangkang, apatis, pengacau, dan seterusnya. Duh apa ndak kasihan tuh sama orang tua dan negara yang sudah ngasih subsidi dana?

Ada lagi tipe mahasiswa yang eksklusif. Biasanya mereka suka pamer atas kekayaan atau harta benda yang mereka miliki. Walaupun pada kenyataannya itu hanya fasilitas yang diberikan oleh orang tuanya. Tipe mahasiswa seperti ini mungkin akan asing dengan yang namanya angkringan ataupun nasi kucing, ataupun gorengan yang biasa di santap oleh kalangan kos-kosan. Mahasiswa yang seperti ini juga sangat memilih teman untuk bergaul yang sepadan, mewah, dan yang paling berbahaya dari tipe ini adalah merasa diri lebih pintar, cerdas, dan berwawasan luas. Wah belum jadi orang penting saja sudah seperti itu, bagaimana kalau jadi pejabat ya? Hmmm… :)

Nah sahabat muda sekalian bisa memilih dan mencocokkan dengan diri sahabat mungkin ada diantara tipe tersebut sudah termasuk kriterianya??, mau bangga menjadi mahasiswa yang tipe seperti apa kalian? Atau justru malah kalian ngerasa kebanggaan dengan profesi sebagai mahasiswa itu kian luntur? Nah kalau kalian ngerasa “kebanggaan” itu kian luntur di hati kalian, berarti ada yang mesti kalian renungkan. Cobalah jadi mahasiswa yang berani beda, kreatif, inovatif, berprestasi, namun juga peduli terhadap masyarakat. Lalu biarkan bangsa dan negara ini yang bangga memiliki mahasiswa seistimewa dan seluar-biasa Anda. Ayo semangat mahasiswa Indonesia! Dan teriakkan dalam hati *Aku Mahasiswa*!!!




WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA



Posted By: Admin

1)  Pendidikan Karakter Bangsa

Apa yang kira-kira terlintas dalam benak ketika kita menyebutkan nama-nama seperti Hayam Wuruk, Sanjaya, Purnawarman, Mulawarman, Sultan Hasanuddin, Patiunus, Pattimura, atau sederet nama lain yang telah mengukirkan nama dalam sejarah bangsanya? Apa yang kemudian menjadikan pendahulu-pendahulu kita tercatat dalam ingatan dan sejarah? Lantas, apa yang akan ditulis oleh orang-orang jauh di masa depan tentang kita?

Sejarah tidak akan menulis sebuah peristiwa biasa-biasa saja, ia tidak akan merekam seorang tokoh yang biasa-biasa saja. Sejarah akan menulis peristiwa dan merekam tokoh yang luar biasa, yang mengubah wajah peradaban sekelompok masyarakat atau dunia. Bagaimana pun kiprah seorang Tan Malaka berusaha dilupakan, sejarah akan tetap menjemput dan mencatatnya, sedalam apa pun Perang Paregreg mencoba dikubur, sejarah akan tetap mengangkatnya ke permukaan.

Sesungguhnya, manusia-manusia macam apakah mereka itu? Sehingga mereka begitu dicintai oleh sejarah? Apakah mereka adalah orang-orang yang diberi kecerdasan berlebih? Kekuatan yang mumpuni? Atau sekadar orang yang tepat di saat yang tepat? Mungkin saja! Namun satu hal yang pasti, melalui sejarah pula kita akan menemukan bahwa mereka memiliki bahan utama yang menjadi dasar seorang manusia sejati—dalam bahasa popular, saat ini apa yang mereka miliki: Karakter.

Karakter adalah kumpulan kualitas terbaik yang mungkin dimiliki seorang manusia seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan dan kesederhanaan, karakter juga mencakup integritas, moral yang baik dan terhormat diramu dengan tepat bersama kecerdasan dan kepandaian. Berdiri di baris depan dalam sebuah pertempuran tidak selalu berarti berani, dalam kesempatan lain hal tersebut justru membahayakan diri sendiri dan orang lain, begitu pun dengan  membagi rata sesuatu hanya berdasarkan jumlah tidak selalu dapat disebut sebagai adil.

Membangun karakter tidak sulit sekaligus juga tidak mudah. Tidak sulit karena bangsa ini memiliki banyak kearifan lokal sebagai materi; sementara tidak mudah, karena hal tersebut harus disampaikan dan dilatih sedini mungkin. Sedari dini berarti dimulai sejak sang anak mulai mengenal kata dan mengidentifikasi objek, mencoba memahami perilaku, dan bertanya tentang segala sesuatu. Mengapa? Karena usia dini merupakan masa seorang individu memiliki kemampuan merekam yang sangat luar biasa dan segala memori yang terpatri pada masa ini akan menjadi pondasi karakter individu tersebut di masa depan. Apabila kita cermati materi dan metode pendidikan di Indonesia akan sangat terasa sekali kurangnya muatan-muatan pendidikan yang dapat menghasilkan seorang manusia yang berkarakter, dan materi pendidikan yang memiliki muatan pendidikan karakter salah-satunya adalah pendidikan Sejarah dan Budaya Bangsa – tolong dipahami, belajar sejarah bukan hanya mengingat tahun, tokoh dan peristiwa, dan belajar Budaya Bangsa tidak selalu mengidentifikasi sebuah seni tradisi berasal dari suku dan daerah mana.

Di sisi lain, forum diskusi, latihan merangkai konsep dalam sebuah uraian yang terstruktur kemudian mempresentasikannya, dan berorganisasi pun saat ini di semua tingkat pendidikan sudah sangat kurang, terutama di tingkat perguruan tinggi. Bahkan di tingkat ini, berorganisasi justru dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik praktis, ironis. Saat ini pendidikan di Indonesia mencoba “Sinergis” dengan pasar, apa yang sedang dan akan ramai, itu yang akan ditingkatkan. Namun pada akhirnya pendidikan yang dibangun dengan konsep ini berkecenderungan menghasilkan manusia-manusia kelas kacung. Dengan materi dan metode pendidikan yang baik, para pengajar yang ahli dan mumpuni, serta sedikit keberuntungan, sisi bidang keahlian mungkin mampu bersaing secara global, namun tetap saja, hanya mampu bersaing di kelas kacung!

Kami kadang berimajinasi, alangkah “hidup” suasana pendidikan di negeri ini apabila celoteh-celoteh mahasiswa tidak hanya bertanya atau membahas hukum Newton, kalkulus atau hukum probabilitas, tetapi juga berbincang tentang filosofi kebenaran, nilai, kejujuran, keadilan, dan prima causa, dan di sana akan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang berkarakter. Sungguh!

Mari rekan-rekan, kita merenung sejenak dan berimajinasi, apa yang akan terjadi dengan sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan kaya akan sumber daya manusia yang berkarakter!
Yakusa!!!

2) Pendidikan Kita Anti Realitas

Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri. Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam dunia pendidikan kita. 

Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan.
Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.

Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.

Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “Korban Penindasan”. Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dan pembebasan  dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.
Jika sudah begitu apa jadinya negeri ini...!!!!

3) Pendidikan Sebagai Program Pembebasan

Pendidikan pembebasan, secara konseptual sering di kaitkan dengan upaya-upaya atau program-program pendidikan berbasis rakyat yang dikaitkan dengan program pendidikan sebagaimana dicanangkan oleh Paulo Freire dan Ivan Illich di Amerika Latin. Dr. Paulo Freire adalah seorang cendekiawan Katolik di Brazilia, yang membuat konsepsi bahwa pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah pendidikan yang menjadikan manusia sebagai sentral bagi perubahan sosial, bahkan mampu mengarahkan dan mengendalikan perubahan itu.
Pendidikan yang berguna adalah pendidikan yang menyadarkan sikap kritis terhadap dunia dan kemudian mengarahkan perubahannya. Dalam menghadapi dunia, pendidikan diarahkan tidak hanya pada kemampuan retorika yang bersifat verbal, akan tetapi juga mengarah kepada pendidikan kelakuan yang bertumpu pada kemampuan profesional. Untuk memiliki kemampuan itu tentunya harus dirangsang sikap kritis terhadap kenyataan-kenyataan di sekelilingnya dan berbekal dengan sikap kritis itu -melalui debat dan diskusi- akan ditemukan berbagai yang dialaminya sendiri dan masyarakatnya. Dari self empowerment ke social empowerment.

Menurutnya, kurikulum pendidikan di Brazilia lebih didominasi oleh pola pendidikan tradisional yang mengedepankan uraian verbal dan hafalan ketimbang kemampuan praktik yang merangsang profesionalisme. Akibatnya, dunia pendidikan lebih banyak menghsilkan retorika atau ungkapan-ungkapan verbal daripada mencermati kenyataan-kenyataan sosial dan kemudian mengubahnya melalui kemampuan yang dimilikinya.

Senada dengan ini adalah konsep Ivan Illich mengenai deschooling society. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi atas model pendidikan kapitalistik yang lebih mengedepankan kekayaan wawasan atau pengetahuan dengan lebih sedikit menyentuh dimensi ketrampilan atau kemampuan praktis. Baginya, pendidikan yang lebih mengedepankan wawasan atau pengetahuan alih-alih perilaku atau ketrampilan hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang menjadi obyek perubahan sosial daripada subyek perubahan sosial.

Pendidikan seharusnya menjadi instrumen bagi self empowerment, yang bertujuan membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan pengibirian manusia atas manusia lainnya. manusia yang memiliki kebebasan ditandai dengan adanya kemampuan dirinya untuk memaksimalkan potensi dirinya dalam kehidupan yang dijalaninya. Sebagai seorang pakar dibidang pengembangan masyarakat, Ivan Illich melihat bahwa out come pendidikan adalah generasi yang memiliki sikap tergantung dan bukan mandiri. Ketergantungan itu salah satunya disaranai oleh pendidikan model kapitalistik, yang baginya sangat merugikan bagi proses pemberdayaan diri dan masyarakat.

Jika kemudian kita mengadopsi pola pendidikan berbasis rakyat, sebagaimana diungkapkan oleh tokoh-tokoh pendidikan di Amerika Latin, hakikatnya bukan karena kita latah, akan tetapi senyatanya bahwa model-model pendidikan yang digunakan di Indonesia juga ditandai dengan pengkayaan dimensi pengetahuan ketimbang pendidikan perilaku yang mengarah kepada penguasaan suatu bidang yang dapat menjadi penguat dalam memasuki dunia pekerjaan.

Problemnya adalah program pendidikan di Indonesia memang belum memiliki relevansi yang sangat kuat dengan program pendidikan sebagaimana didesain oleh para praktisi pendidikan pembebasan. Dalam banyak hal, pendidikan Indonesia masih didesain sebagai model pendidikan yang lebih menekankan pada dimensi pengetahuan atau knowledge. Akan tetapi yang masih tampak mengedepan adalah penerapan pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan teoretik atau konseptual. Sehingga dimensi praksis agar pendidikan dapat menjadikan out putnya memiliki seperangkat keterampilan praksis masih jauh dari harapan.

Memang akhir-akhir ini sudah dirasakan adanya fenomena untuk mengangkat out put pendidikan ke arah pemilikan pengatahuan praksis. Di antaranya adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh Ciputra Group. Sayangnya bahwa lembaga ini nampak sangat elitis,
sehingga yang bisa belajar ke arah itu hanyalah sekelompok elit yang memang memiliki kemampuan secara finansial. Seharusnya, model pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah enterprenership yang dikembangkan oleh Ciputra ini justru diadaptasi oleh pemerintah atau lembaga lain yang selama ini memiliki konseren dalam program pembelajaran berbasis pada pembebasan. Melalui adopsi model tersebut, kiranya akan didapatkan suatu perubahan tentang praksis pendidikan yang lebih mengarah pada kemampuan teknis ketimbang teoretis.
Hanya melalui program pendidikan yang berbasis pembekalan pengetahuan praksis saja maka pendidikan akan dapat menjadi salah satu model yang lebih tepat untuk mengembangkan modal manusia atau human capital.

4) Wajah Buruk Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting untuk perkembangan suatu negara. Dengan pendidikan diharapkan agar bisa menyiapkan sumber daya manusia yang nantinya akan meneruskan dan memajukan suatu negara. Kita tahu Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun semua itu akan sia-sia apabila sumber daya manusia yang dimiliki tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang sudah ada itu. Pembentukan atau penciptaan sumber daya manusia yang bermutu tergantung pada sistem dan penerapan pendidikan. Di Indonesia masih banyak masalah masalah mengenai pendidikan ini yang sampai sekarang masih belum bisa diselesaikan, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia menjadi masalah utama yang harus cepat diatasi. Berikut masalah pendidikan yang ada di Indonesia berserta solusinya.

Rendahnya sarana dan pra sarana pendidikan di Indonesia. Sekarang ini masih banyak sekali kasus sekolah-sekolah yang tidak layak pakai, atap sekolah yang mau roboh, dinding sekolah yang sudah retak dan hal ini sangat ironis bila melihat anggaran pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini (20% dari APBN). Permasalahan yang lebih ringan lainya adalah ketersediaan alat-alat dan sarana yang mendukung pendidikan seperti perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah dan ruang kelas yang cukup. Masalah-masalah seperti ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah pedesaan dan terpencil saja, namun juga ada di kota besar. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan megahnya gedung DPR, gedung Walikota atau gedung pemerintahan lainyaa. Sehingga hal tersebut menjadi bukti kurangnya perhatian pemerintah pada pemerataan pendidikan di indonesia.

Mahalnya biaya pendidikan ini adalah masalah utama di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang bermutu itu mahal, mungkin seperti itulah yang terjadi sekarang ini, biaya pendidikan dari TK sampai dengan jenjang perkuliahan dirasakan masih mahal. Banyak anak sekolah yang putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan yang harus mereka bayar untuk bisa mengenyam di dunia pendidikan. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Padahal anggaran pendidikan dari pemerintah terbilang banyak, namun masih belum bisa menyelesaikan masalah ini. Bahkan progam BOS dari pemerintah masih belum bisa berjalan dengan baik. Dan masih ada juga sekolah yang memungut biaya pendidikan kepada para siswa. Sehingga hal tersebut menimbulkan protes bagi orang tua siswa, mereka berfikir karena udah ada BOS masih dipungut uang pembayaran.

Saat ini tidak semua daerah di Indonesia memiliki gedung sekolah, pengajar dan sarana pendidikan yang sama, sama disini maksudnya adalah dari segi kualitas dan kuantitasnya. Bagi sebagian orang pendidikan merupakan hal yang biasa, namun berbeda dengan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia, pendididkan merupakan kebutuhan yang mewah dan sangat berharga. Hal ini dikarenakan, untuk mencukupi atau bisa mengenyam pendidikan di perlukan biaya yang mahal karena di daerah tersebut sekolah masih sedikit atau jarang. Hal ini karena sistem yang ada di Indonesia memfokuskan pendidikan di wilayah-wilayah yang potensial saja yang kemudian mengakibatkan kesenjangan di dalam pendidikan itu sendiri.

Masih rendahnya kesejahteraan guru juga menjadi permasalahan, karena salah satu bagian penting yang berperan dalam kemajuan pendidikan adalah guru. Kesejahteraan guru berdampak pada mutu pengajaran yang ada. Sekarang ini masih banyak guru yang dibayar dengan upah yang kurang layak, meskipun banyak anggapan profesi guru merupakan profesi yang enak. Karena adanya sertifikasi yang diberikan pada para guru sekarang ini, namun masih banyak juga guru di Indonesia yang masih menerima gaji yang tidak sesuai, apalagi guru honorer dan guru bantu. Hal ini mengakibatkan para guru tersebut menjalani profesi sampingan seperti memberi les pada sore hari, mengajar di sekolah lain, pedagang buku/LKS dan sebagainya.

Rendahnya prestasi siswa sangat menentukan kemajuan dan mutu pendidikan di Indonesia. Namun yang sangat disayangkan terjadi sekarang ini adalah rendahnya prestasi yang diraih pelajar Indonesia. Masih kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan adalah faktor utama, juga semangat belajar yang kurang, budaya mencontek merupakan penyebab kurangnya daya kreatifitas yang dimiliki anak.Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut diantaranya rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana dan prasarana, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek. Dalam artian yang hanya mengikuti berjalannya zaman yaitu tidak bisa memilih mana yang baik dan yang buruk. Padahal sebagai manusia Indonesia yang memiliki budaya bisa kritis terhadap zaman ada. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.

5) “Sakitnya” Pendidikan Kita

Pendidikan macam apa yang kau ajarkan kepada anak anak saya, sampai mereka tidak mengenal Moral dan kelakuan mereka tidak mencerminkan bahwa mereka adalah generasi yang dididik (Kata Orang Tua) kita dulu...!!!

Hari ini saya benar-benar kaget, terperanjat, sekaligus takjub. Saya membaca beberapa berita yang isinya benar-benar mengguncang hati: “Seorang yang bertindak jujur melaporkan adanya contekan massal di sekolah anaknya, malah diancam diusir oleh warga desa yang memiliki anak di sekolah itu. Para orangtua murid itu marah karena kuatir akibat pencontekan itu maka anak-anak mereka tidak diluluskan.” (silakan browsing berita itu, kejadiannya di Surabaya beberapa waktu lalu dan sempat menjadi berita hangat di suratkabar dan TV).

Sulit untuk mengelak dari pernyataan bahwa “Pendidikan” kita memang tengah sakit, kalau bukan sekarat. Hari-hari ini kita rupanya tengah menuai buah dari apa yang kita lakukan untuk pendidikan selama beberapa puluh tahun terakhir. Apa yang ditakutkan oleh ahli antropologi kita, Koentjaraningrat, sejak awal 70-an tentang mental “menerabas”, tidak pernah kita antisipasi apalagi kita siasati. Jadilah maka, pendidikan yang mengabaikan ‘proses’ dan hanya mengutamakan ‘hasil. Alhasil, kejujuran tidak pernah menjadi bagian dari pendidikan kita. Contek mencontek telah menjadi bagian lazim dari pendidikan kita di semua level. Tak saya pungkiri, saya pun termasuk generasi yang sering mengalami ‘contek-contekan’ itu. Bahkan pernah juga suatu kali contekan diumumkan massal di depan kelas oleh guru. Sampai-sampai, seorang kawan pernah mengatakan: “ngapain belajar susah-susah, nanti juga pasti diberi contekan.”

Hari ini membaca berita ‘contekan massal di Surabaya” itu, saya kembali teringat kata-kata seorang kawan kuliah saya dulu (dan belum juga lulus kini). Dia bilang tidak akan menyekolahkan anak-anaknya kelak di sekolah negeri. Bukan karena sekolah negeri kualitas pengajarannya tidak bagus. Justru sekolah negeri seringkali jauh lebih bagus. Yang dia takutkan adalah rendahnya pendidikan karakter di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Dia ceritakan tentang bagaimana ketidakjujuran telah menjadi bagian integral di sekolah-sekolah. Dia ungkapkan keprihatinannya tentang bagaimana ‘fairness” tidak menjadi bagian penting dalam pendidikan.

Pendidikan yang tidak jujur telah menuai hasilnya. Dulu kebanyakan orang masih malu-malu mengakui bahwa “contekan” telah dilakukan. Kini kita terbuka membelanya. Mereka yang melaporkan pencontekan justru kita jadikan pesakitan. Kita cerca mereka secara terbuka sebagai sok suci, yang hanya merugikan semua orang. Dan gejala ini, rupa-rupanya gejala bangsa kita di hari-hari belakangan ini dalam semua hal.

Saya teringat dengan kisah raja Lear yang masyhur itu. Alkisah, semua rakyat di kerajaannya meminum air dari satu sumur yang sama. Pada suatu ketika, entah bagaimana asal muasalnya, sumur itu tercemar. Siapa yang meminumnya menjadi gila. Cara berpikirnya terbalik-balik. Oleh karena seluruh rakyat di kerajaannya hanya memiliki satu sumur itu sebagai sumber air, maka tak lama kemudian semua rakyatnya pun menjadi gila. Akan tetapi, bagi rakyat, raja-lah yang gila karena tidak berpikir seperti mereka. Rakyat mulai mencipta huru-hara dan protes karena sang raja berpikir kurang waras, yakni selalu bertentangan dengan cara pikir semua rakyatnya. Melihat gejala itu, rajanya pun akhirnya mengambil keputusan untuk meminum air sumur tercemar, dan maka sang raja seperti rakyatnya. Maka rakyatnya pun bersorak sorai karena raja telah menjadi seperti mereka. Jadilah semuanya normal, tidak ada lagi yang waras dan yang gila. Jangan-jangan, kita ini sedang seperti dongeng kuno itu.. jangan-jangan…. sebab kita semua minum dari sumber air yang sama: ‘pendidikan yang sakit’ !, lalu bagaimana pendidikan yang seharusnya???

6) Pendidikan Yang Ideal Bagi Bangsa Indonesia

Di era teknologi seperti ini, pendidikan memang sangat diperlukan bagi setiap orang. Pendidikan saat ini kerap menjadi tolak ukur bagi kecerdasan dan kesuksesan seseorang. Pendapat bahwa orang yang selalu memiliki IPK hampir empat, lulus kuliah dengan predikat cumlaude dan yang mempunyai gelar tinggi hingga doktor bahkan profesor, dipercayai oleh sebagian besar orang akan menjadi orang yang sukses kelak dan berpenghasilan besar tentunya. Padahal pada kenyataannya tidak semuanya seperti itu. Banyak orang yang sukses diusia produktifnya padahal ketika masa sekolah ia termasuk anak yang bisa dibilang tidak pintar bahkan mungkin termasuk peringkat sepuluh terburuk satu sekolahnya. Mereka dapat menjadi lebih sukses karena dari kecerdasannya dalam berpikir kritis dan futuristik, sehingga mereka pandai untuk berbisnis dan mengelola uang mereka. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor yang disebut keberuntungan.

Pendidikan adalah proses pembelajaran, proses dimana kita akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang sesuatu hal  baru yang sebelumnya tidak kita ketahui, Proses dimana kita dilatih dan dibimbing untuk menjadi pribadi yang lebih berilmu dan berakal sehat juga rasional. Dengan mendapat pendidikan yang layak bagi seusianya, diharapkan anak akan dapat menjadi pribadi yang berperilaku yang baik, cepat tanggap, mudah bergaul dan tentunya bertambah pengetahuannya, baik yang umum maupun yang khusus seperti berhitung dan berbahasa. Materi yang diberikan dalam proses pembelajaran ada bermacam-macam seperti  dalam hal berhitung, berbahasa, berperilaku, beragama, berekspresi, seni, berakhlak dan berperilaku. Proses pembelajaran ini tidak hanya dimulai ketika kita taman kanak-kanak, tapi dimulai ketika kita masih didalam perut ibu. Saat kita masih didalam kandungan, ibu sudah mengajarkan kita tentang kasih sayang, kasih sayang dari seorang ibu yang selalu menjaga anak dalam kandungannya agar kelak lahir dengan sehat dan selamat.

Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap manusia. Pendidikan adalah salah satu cara manusia agar dapat melanjutkan kehidupan. Dengan pendidikan, ilmu yang kita miliki akan semakin bertambah, wawasan yang kita miliki akan semakin luas, sehingga kita dapat berpikir secara lebih futuristik dan rasional. Dengan ilmu seseorang dapat berbuat banyak, dengan ilmu juga kita dapat beramal karena dapat berguna untuk orang lain. Sebagai contoh, jika kita memiliki ilmu yang lebih dari teman kita, saat ada yang mengalami kesulitan dalm pelajaran disekolah, dan kita dapat membantunya kita akan mendapat pahala karena kita dapat menolong teman yang kesulitan.

Contoh lainnya, jika suatu saat kita berhenti atau sedang tidak bekerja, jika kita memiliki ilmu khusus yang lebih, kita dapat mencari kerja sampingan sementara yaitu sebagai pengajar les atau bimbingan belajar bagi anak yang memerlukannya. Banyak hal yang dapat kita lakukan dan kita dapatkan, jika kita menjadi orang yang berilmu. Agar pendidikan yang diterima oleh peserta didik secara maksimal, haruslah dibuat sistem pendidikan yang ideal. Yang dimaksud ideal adalah yang memenuhi beberapa kriteria seperti pendidikan yang sesuai umur, sesuai kapasitas kemampuan peserta didik dalam menerima, dan pendidikan yang diberikan secara bertingkat dan bertahap. Pendidikan sesuai umur maksudnya adalah proses belajar dimana materi yang diberikan kepada peserta didik sesuai dengan umurnya. Misalnya anak SMP tidak cocok lagi jika diajarkan penjumlahan bilangan puluhan bahkan satuan, karena seharusnya mereka sudah paham karena sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak. Sebaliknya anak SD juga tidak cocok jika diajarkan pelajaran Biologi, yang membahas tentang proses reproduksi pada manusia. Karena mereka dianggap belum mengerti tentang masalah itu, dan berbahaya jika disalahgunakan. Hal ini juga berhubungan dengan kriteria kedua yaitu sesuai dengan kapasitas kemampuan sang peserta didik untuk menerima pelajaran tersebut. 

Jika pendidikan yang diberikan melebihi dari kemampuan menerima dikhawatirkan peserta didik akan stress, sebaliknya jika terlalu mudah akan membuat mereka menjadi bosan. Oleh karena itu harus tepat. Kriteria tepat ketiga adalah proses pembelajaran seharusnya diberikan secara bertahap dan semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Sebagai contoh adalah siswa-siswi taman kanak-kanak mulai diajarkan matematika yaitu mengenal bilangan satuan dan melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan satuan. Ketika di SD kelas 1, pelajaran yang mereka terima mulai naik tahapannya menjadi penjumlahan bilangan puluhan, lalu ratusan, ribuan dan seterusnya. Meningkat lagi ke perkalian dan pembagian. Namun saat SMP, matematika yang dipelajari tidak lagi sederhana yaitu mulai konsep al-jabar, phytagoras dan lain-lain. Sehingga peserta didik dapat menerimanya dengan baik karena dimulai dari tahap yang mudah hingga yang paling sulit. 
 
Belajar tidak hanya disekolah, kita belajar dan mendapat pendidikan dimana saja. Ada pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal adalah pendidikan wajib yang terstruktur dan terorganisir, seperti sekolah. Di Indonesia pemerintah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun untuk warganya, hal ini berguna untuk menymaratakan pendidikan masyarakat Indonesia agar tidak menjadi bangsa yang terbelakang pendidikannya. Selain formal, ada juga pendidikan informal, seperti les-les tambahan diluar jam sekolah, les musik, lukis, teater, olahraga dan kesenian lainnya. Pendidikan ini bersifat tidak wajib, hanya sebagai tambahan saja, biasanya untuk mengasah kemampuan yang berhubungan dengan hobi. Selain les-les tambahan kegiatan berorganisasi juga merupakan pendidikan yang bersifat informal, kita belajar bagaimana cara menghargai orang lain, berkomunikasi didepan umum dan lainnya. Keluarga juga berperan penting dalam pendidikan informal ini, karena dirumahpun kita juga tetap belajar, belajar menghomati orang lain, mengalah dan saling menyayangi antar anggota keluarga. Jadi pendidikan itu sebenarnya bersifat luas, dapat diperoleh dimana saja.


Pemerintah Indonesia bercita-cita untuk menjadikan pendidikan di Indonesia ini mudah dijangkau oleh masyarakat. Karena mereka menilai pendidikan itu sangat penting, terutama di era globalisasi ini, dimana teknologi semakin canggih dan semakin mudah untuk melakukan apapun. Menurut pendapat saya hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah cukup baik dan cukup mendukung dengan memberlakukan ’program wajib belajar 9 tahun’ dan ’program sekolah gratis’ bagi setiap warganya maupun program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Hal ini dinilai berguna untuk menyamaratakan kemampuan seluruh masyarakatnya, agar Indonesia menjadi negara yang maju, tidak hanya berkembang dan jangan sampai mengalami kemunduran. Juga agar Negara Indonesia tidak mengalami ketertinggalan dari bangsa-bangsa lainnya.

Indonesia adalah negara yang tingkat kepadatan penduduknya mendapat peringkat sepuluh besar didunia ini. Masalah pendidikan di negara ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara garis besar dikatakan bahwa setiap penduduk mendapat hak pengajaran yang layak. Dari kenyataan ini, seharusnya dapat mendukung Indonesia menjadi negara yang maju yang dapat menciptakan alat-alat baru dengan inovasi teknologi yang canggih. Namun realitanya, hanya sebagian kecil saja yang dapat melakukan inovasi tersebut. Dimana sebagian kecil tersebut belum memiliki pengaruh yang besar yang dapat mengharumkan nama bangsa. Hal ini mungkin saja menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia ini belum maksimal sehingga belum menghasilkan banyak bibit unggul yang dapat mengharumkan nama bangsa ini. Mungkiiinn...!!!!!
 
Masihkah Bangga Menjadi Mahasiswa?

 

Dari tahun ke tahun nampak begitu banyaknya peserta didik atau calon mahasiswa yang mengikuti SNMPTN. Ini mengindikasikan bahwa banyak sekali adik-adik kita ataupun mungkin sahabat generasi muda kita yang kepingin menjadi seorang mahasiswa. Nampaknya selama ini sebutan “mahasiswa” menjadi impian dan obsesi sebagian besar masyarakat yang notabene adalah kawula muda. Right?

Mereka berjuang keras rela antri demi selembar formulir pendaftaran, datang dari luar kota, hingga bahkan rela menggadaikan harta benda sebagai biayanya. Demi menjadi seorang mahasiswa! *ucapkan dengan keras dalam hati. Hehehe… Nah lalu kalau sudah menjadi mahasiswa bagaimana kesan yang tertinggal serta kelanjutannya? Sebagian kecil mahasiswa ada yang mengatakan “ah ternyata jadi mahasiswa itu biasa-biasa saja, membosankan, monoton, tidak ada yang istimewa”. Ini pendapat mahasiswa yang memang biasa-biasa saja dalam menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa; mungkin kesehariannya antara kampus, perpus, terus kos-kosan. Belajar-makan-tidur, demikian yang membuatnya merasa biasa-biasa saja.


Lain halnya dengan pendapat mahasiswa tipe aktivis sejati. Mereka akan mengatakan bahwa jadi mahasiswa itu luar biasa, membanggakan, dan istimewa karena masih banyak kawan-kawan di luar sana yang tidak seberuntung kita bisa menikmati bangku kuliah. Tipe mahasiswa aktivis akan memiliki segudang kesibukan, sederet prestasi, networking yang luas serta pengalaman yang begitu banyak. Inilah yang membuat seorang mahasiswa tipe aktivis menjadi mahasiswa yang istimewa, luar biasa dan penuh warna. Ia berprestasi secara akademik, namun juga aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi intra dan ekstra kampus.
Ada pula tipe mahasiswa yang gaul abiz. Ia akan beranggapan bahwa menjadi mahasiswa itu mesti tampil beda, keren dan trendy. Pokoknya jadi mahasiswa itu mesti gaul, sering nongkrong di mall, dugem malam hari, punya banyak pacar, dan sederet tipikal kegaulan lainnya. Apa hasil yang didapat dari mahasiswa tipe ini? Ya pastinya kesenangan hidup, kepuasan batin, gemerlap kemewahan dan tentunya pemborosan. Right?

Ada lagi tipe mahasiswa yang setengah preman. Loh kok bisa? Lha rutinitasnya cuma numpang di kos-kosan demi bisa mabuk-mabukkan, mengkonsumsi narkoba, atau melakukan pergaulan bebas. Bagi mereka jadi mahasiswa itu mungkin ya sosok yang keras, suka anarkisme, pembangkang, apatis, pengacau, dan seterusnya. Duh apa ndak kasihan tuh sama orang tua dan negara yang sudah ngasih subsidi dana?

Ada lagi tipe mahasiswa yang eksklusif. Biasanya mereka suka pamer atas kekayaan atau harta benda yang mereka miliki. Walaupun pada kenyataannya itu hanya fasilitas yang diberikan oleh orang tuanya. Tipe mahasiswa seperti ini mungkin akan asing dengan yang namanya angkringan ataupun nasi kucing, ataupun gorengan yang biasa di santap oleh kalangan kos-kosan. Mahasiswa yang seperti ini juga sangat memilih teman untuk bergaul yang sepadan, mewah, dan yang paling berbahaya dari tipe ini adalah merasa diri lebih pintar, cerdas, dan berwawasan luas. Wah belum jadi orang penting saja sudah seperti itu, bagaimana kalau jadi pejabat ya? Hmmm… :)

Nah sahabat muda sekalian bisa memilih dan mencocokkan dengan diri sahabat mungkin ada diantara tipe tersebut sudah termasuk kriterianya??, mau bangga menjadi mahasiswa yang tipe seperti apa kalian? Atau justru malah kalian ngerasa kebanggaan dengan profesi sebagai mahasiswa itu kian luntur? Nah kalau kalian ngerasa “kebanggaan” itu kian luntur di hati kalian, berarti ada yang mesti kalian renungkan. Cobalah jadi mahasiswa yang berani beda, kreatif, inovatif, berprestasi, namun juga peduli terhadap masyarakat. Lalu biarkan bangsa dan negara ini yang bangga memiliki mahasiswa seistimewa dan seluar-biasa Anda. Ayo semangat mahasiswa Indonesia! Dan teriakkan dalam hati *Aku Mahasiswa*!!!



InTouch
Update Available
Download It