Hosting Unlimited Indonesia

STATUS WANITA ISLAM; Status Wanita dalam Komunitas Muslim (Ummah).


Status wanita Muslim dalam Islam adalah sangat mulia dan tinggi, dan efek nya sangat besar dalam kehidupan setiap muslim. Memang, wanita Muslim adalah guru awal dalam pembangunan masyarakat benar, memberikan dia mengikuti bimbingan dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, karena kepatuhan kepada Al-Qur'an dan Sunnah jarak setiap muslim - laki-laki atau perempuan - dari yang sesat dalam hal apapun. The kesesatan bahwa berbagai bangsa menderita, dan menyimpang mereka menjadi, tidak terjadi kecuali dengan menjadi jauh dari jalan Allah - Yang Maha Tinggi, Yang Maha Sempurna - dan dari apa yang Nabi-Nya dan Rasul, kedamaian semoga Allah akan berada di atas mereka semua, datang dengan. Nabi berkata: "Saya meninggalkan di belakang saya dua hal, Anda tidak akan tersesat selama Anda berpegang teguh kepada keduanya, Kitab Allah dan Sunnah saya."


Dibalik Selendang Kelemahan Perempuan 

Perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi banyak keindahan. Makhluk Allah yang selalu menggunakan perasaannya dari pada logika dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Makhluk Allah yang selalu ingin tampil menarik, cantik, dan rapi. Masyarakat menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang indah, tapi lemah. Bahkan mayoritas masyarakat Indonesia, melabelkan perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya, dan harus dilindungi. Stereotip (pelabelan) ini menyebabkan hak-hak kaum hawa semakin diinjak, keberadaanya tidak terlalu dibutuhkan, dan kebebasannya sering diabaikan. Namun, kewajiban perempuan semakin dituntut dan kadang melampaui batas peri kemanusiaan. Perempuan memiliki banyak kewajiban, diantaranya adalah perempuan yang sudah berkeluarga wajib untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan mendidik anak-anak.

Paradigma masyarakat yang tinggal diperkotaan, tentu tidak semua perempuan tinggal dan mengurusi pekerjaan rumah, tetapi mereka juga seharusnya diberikan kebebasan untuk berkecimpung dalam urusan sosial, serta diberi hak untuk mengembangkan bakat atau keterampilannya di dunia pekerjaan. Sedangkan, mendidik anak-anak merupakan tanggungjawab kedua orangtuanya, bukan hanya pihak perempuan saja.  

Sebagian kaum hawa beranggapan bahwa mereka memiliki fisik yang lemah dibanding laki-laki. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya olahraga sepakbola yang menuntut fisik secara berlebihan. Tidak ada pemain sepakbola yang perempuan, karena dalam dunia sepakbola pemain harus berlari menggiring bola menuju gawang selama 90 menit. Walaupun ada sepakbola khusus perempuan, tetapi itu hanya sebagian kecil saja, tidak lebih dari 10 grup. Akan tetapi, jika kita kaji dari sisi psikologis perempuan memiliki kekuatan hati yang cukup bagus dibanding laki-laki. Perempuan memang mudah menangis, tetapi tidak mudah frustasi.

Sejak zaman Rasul, perempuan dianggap sebagai budak belian yang tidak berharga. Pada masa kini kelemahan perempuan semakin diungkit-ungkit dengan maraknya kasus kekerasan yang terjadi di dunia, terutama di Indonesia. Perempuan secara tidak langsung dikatakan sebagai pekerja yang tak ada artinya. Kaum adam dengan kekuatannya memperlakukan kaum hawa secara kasar dan dapat dikategorikan sebagai perilaku yang tidak berperikemanusiaan.

Sudah banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia, salah satunya terjadi di Aceh. Sebut saja Feri, perempuan asal Aceh yang mengetahui seluk beluk tentang perempuan-perempuan Aceh yang haus akan kebebasan (dalam Komnas, 79). Sejak kecil Feri sudah dihadapkan dengan persoalan-persoalan sepele yang membandingkan laki-laki dengan perempuan. Misalnya, Ibu Feri yang mempunyai anak 6 orang ini, setiap harinya harus bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan itu saja Ibunya juga dituntut untuk mendidik anak-anak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sedangkan, sang Ayah hanya sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Di desa tempat Feri tinggal, perempuan Aceh dilarang untuk melanjutkan sekolah ke tingkat atas (SMA). Kaum adam beranggapan bahwa jika seorang perempuan menuntut ilmu sampai jenjang yang lebih tinggi, maka pada akhirnya dia akan tetap dirumah dan mengurus urusan rumah saja. Tidak pada Feri, Ibunya rela menjual perhiasan miliknya hanya untuk biaya kuliah Feri. Sejak masuk ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) tahun 1997, Feri mengalami banyak konflik yang semakin memperjelas tentang kedudukan perempuan di mata laki-laki. Saat itu terjadi peristiwa-peristiwa penting yaitu Reformasi, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) serta tsunami.

Setelah Reformasi terjadi tepatnya tahun 1998, muncul selebaran dan maklumat yang mewajibkan seluruh mahasiswi Aceh untuk mengenakan jilbab serta menjunjung tinggi syariah Islam. Dalam waktu yang bersamaan pula, Feri mendaftarkan diri menjadi relawan Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR-PMI Unsyiah). Relawan ini melakukan aksi kemanusiaan untuk korban kekerasan yang disekap dan disiksa karena dituduh memiliki hubungan dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh pasukan gabungan TNI dan Brimob di kantor KNPI Lhokseumawe. Feri melihat bahwa korban paling banyak dari peristiwa penghadangan yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap masyarakat yang melakukan demonstrasi untuk menuntut pembebasan anggota keluarganya yang ditahan di gedung KNPI, adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan diperlakukan dengan sewenang-wenang, tanpa ada dari mereka yang menentang perlakuan tersebut. Perempuan di dalam pengungsian itu diberikan hak hidup yang sangat minim, mulai dari makanan yang seadanya, akses air bersih yang tidak cukup memadai sampai Ibu melahirkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

Perjuangan Feri tidak begitu saja, ia masuk menjadi anggota pemberdayaan perempuan sekitar tahun 2001 dan membuka cakrawala berpikirnya. Diskriminasi terhadap perempuan ternyata sudah menjadi kebiasaan, bahkan dihidupkan dalam tradisi-tradisi hampir semua budaya masyarakat. Dalam kondisi masyarakat Aceh yang sekian lama hidup dalam fanatisme Islam, agama dijadikan alasan pembenaran untuk membatasi ruang gerak perempuan.

Studi kasus di atas membuka pemikiran kita untuk lebih menghargai hak-hak perempuan, agama sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan, bukan memandang sebagai kaum yang lemah dan tak berdaya. Dibalik kelemahan perempuan, ada kekuatan yang harus didukung dan dijunjung eksistensinya.      

Penulis:
Nur Ummiati (Mantan Ketum Kohati Komisariat Unindra PGRI Periode 2013-2014)


InTouch
Update Available
Download It